Jauh sebelum Islam datang, masyarakat Arab, khususnya Makkah yang merupakan tempat diturunkannya wahyu pertama kali, sudah mempunyai tradisi dan realitas sosial tersendiri. Hal itu meliputi berbagai bidang kehidupan, seperti sistem politik, keagamaan, etika, sistem keluarga, serta bentuk-bentuk interaksi sosial yang lain.
Dalam sebuah buku yang berjudul Al-JuŜûr al-Târîkhiyyah li asySyarî’ah al-Islâmiyyah, Khalil Abdul Karim (2003) menjelaskan mengenai ritus-ritus bangsa Arab sebelum datangnya Islam, di antaranya adalah sebagai berikut.
- Ritus-ritus peribadatan, seperti pengagungan Ka’bah, Haji dan Umarah, dll.
- Ritus-ritus warisan penganut tradisi ħanîfiyyah.
- Ritus-ritus sosial, seperti jampi-jampi, poligami, perbudakan, dll.
- Ritus-ritus hukuman, seperti al-‘âqilahdan al-qasâmah.
- Ritus-ritus peperangan, seperti seperlima bagian, as-salb, dll.
- Ritus-ritus politik, seperti khilâfah dansyûra.
Ritus-ritus tersebut ternyata tidak diingkari oleh Islam, bahkan dilestarikan. Sebagian dari ritus-ritus tersebut masih berlaku hingga sekarang, seperti haji, umrah, dan shalat jum’at. Sedangkan sebagian yang lain sudah tidak berlaku lagi karena perubahan polahidup manusia, seperti perbudakan, pembagian rampasan perang, dan lain sebagainya. Di sisi lain, banyak juga ritus-ritus bangsa Arab yang ditinggalkan oleh Islam, seperti nikah syigâr, menikah lebih dari empat, tidak adanya pembatasan thalak, riba, jual beli mulâmasah (pegang berarti beli), dan lain sebagainya.
Indikasi yang diperoleh dari fenomena di atas adalah bahwa secara teoretis bisa dikatakan Islam datang dengan membawaajaran-ajaran serta nilai-nilai yang mempunyai dua sisi, di satu sisibersifat kaku, rigid, tidak dapat dinegosiasikan (tsawâbit) dan di sisi yang lain bersifat lentur, fleksibel dan bisa dinegosiasikan (mutaghayyirât).
Realitas sosial yang tidak bisa dinegosiasikan dengan ajaran dan nilai-nilai Islam akan dieliminasi oleh Islam. Sedangkan realitas sosial yang tidak bertentangan dengan Islam dibiarkan dan bahkan diadopsi.
Secara umum, hubungan antara realitas sosial dan formulasi hukum dalam proses tasyri’ di masa Rasulullah saw terekam dalam Al-Qur`an dan Sunnah. Pembahasan selanjutnya akan diklasifikasi menjadi tiga bagian, pertama mengenai dialektika antara Al-Qur`an dengan realitas sosial, kedua mengenai dialektika antara Sunnah Rasul dengan realitas sosial, dan untuk melangkapi pembahasan akan dibahas mengenai ijtihad Rasul.
1. Al-Qur`an dan Realitas Sosial
Jika dilihat dari kaca mata realitas sosial, akan terlihat bahwa AlQur`an sangat bersifat realistis, dalam arti selaluseiring sejalan dan tidak mengabaikan realitas sosial. Hal ini dikarenakan Al-Qur`an mempunyai fungsi sebagai petunjuk (hudan) bagi kehidupan. Begitu intensifnya pergumulan antara ayat-ayat Al-Qur`an dengan realitas sosial, sehingga dalam tradisi ke-Islam-an muncul ilmu khusus mengenai sebab-sebab turunnya Al-Qur`an (asbâb an-nuzûl), meskipun tidak semua ayat Al-Qur`an ada asbâb an-nuzûl-nya.
Mengenai hal ini, Abdurrahman Umairah (2001) bahkan mencatat ayat-ayat yang pada saat turunnya secara spesifik ditujukan kepada Sahabat Rasulullah tertentu. Hal itu bisa dilihat dalam buku setebal 12 jilid yang berjudul “Rijâl wa Nisâ` Anzala allâhu fîhim Qur`an-an” (laki-laki dan perempuan yang kepadanya ayat-ayat al-Qur`an diturunkan). Al-Qur`an, dilihat dari kronologi turunnya, para ulama mengategorikan ayat-ayatnya menjadi dua, yaitu ayat-ayat Makkiyyah dan ayat-ayat Madaniyyah.
Hal itu, jika diilihat dari kaca mata realitas sosial terlihat adanya perbedaan isi ajaran dalam keduanya. Ayat-ayat Makkiyyah yang diturunkan sebelum Rasulullah melakukan hijrah ke Madinah berkisar antara 19/30 dan berlangsung selama kurang lebih 13 tahun berisi ajaran mengenai dasar-dasar akidah dan akhlak. Sedangkan ayat-ayat Madaniyyah yang mulai diturunkan sejak Rasulullah Hijrah ke Madinah, yang berkisar antara 11/30 dan berlangsung selama kurang lebih 10 tahun berisi mengenai ajaran yang bersifat amaliyah secara utuh seperti shalat dan lain-lain (Khalil, TT: 38-40, Beik, TT: 9).
Terlihat sekali bahwa realitas sosial mendapat perhatian dalam proses turunnya Al-Qur`an, di mana pada fase Makkah belum ada kesemapatan dan pendorong kepada tasyri’ yang bersifat ‘amali, dan belum dibentuk peraturan pemerintahan, perdagangan, dan lain-lain, sehingga dalam surat-surat Makkiyyah dalam al-Qur`an seperi surat Yunus, ar-Ra’du, alFurqan, Yasin, dan al-Hadid, tidak terdapat satu ayat pun dari ayat-ayat hukum yang ‘amali, bahkan kebanyakan ayat-ayatnya khusus membahas masalah akidah, akhlak, dan tamsil perjalanan hidupumat manusia di masa lampau (Khallaf, 2005: 12).
Hal yang berbeda terlihat pada fase Madinah, di mana Islam telah terbina menjadi umat dan telah membentuk pemerintahan, serta mediamedia dakwah telah berjalan lancar. Keadaan mendesak diberlakukannya tasyri’ dan undang-undang guna mengatur hubungan antar individu satu dengan yang lain sebagai umat yang sedang berkembang.
Realitas tersebut menghendaki diberlakukannya hukum-hukum seperti hukum perkawinan, perceraian, pewarisan, perjanjian utang-piutang, kepidanaan, dan lainlain. Surat-surat Madaniyyah dalam al-Qur`an seperti al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa`, al-Maidah, al-Anfal, dan al-Ahzab merupakan surat-surat yang memuat ayat-ayat mengenai hukum-hukum tersebut (Khallaf, 2005: 12).
Mencermati cara Al-Qur`an dalam hubungannya dengan realitas sosial, akan terlihat bahwa Islam berangkat bersama-sama dengan manusia secara apa adanya dan menerapkan hukum sesuai dengan tingkat kemampuannya, tahapan, dan keadaannya, atau dengan kata lain, realitas sosialnya, dan hukum yang diterapkan tersebut dianggap sebagai batas taklifnya. Apabila seseorang sudah siap dengan taklif itu maka kepadanya diterapkan dan apabila tingkat kemapuannya meningkat taklifnya juga ditingkatkan, begitu seterusnya (Bu’ud, 2000: 19).
Realitas tersebut menghendaki diberlakukannya hukum-hukum seperti hukum perkawinan, perceraian, pewarisan, perjanjian utang-piutang, kepidanaan, dan lainlain. Surat-surat Madaniyyah dalam al-Qur`an seperti al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa`, al-Maidah, al-Anfal, dan al-Ahzab merupakan surat-surat yang memuat ayat-ayat mengenai hukum-hukum tersebut (Khallaf, 2005: 12).
Mencermati cara Al-Qur`an dalam hubungannya dengan realitas sosial, akan terlihat bahwa Islam berangkat bersama-sama dengan manusia secara apa adanya dan menerapkan hukum sesuai dengan tingkat kemampuannya, tahapan, dan keadaannya, atau dengan kata lain, realitas sosialnya, dan hukum yang diterapkan tersebut dianggap sebagai batas taklifnya. Apabila seseorang sudah siap dengan taklif itu maka kepadanya diterapkan dan apabila tingkat kemapuannya meningkat taklifnya juga ditingkatkan, begitu seterusnya (Bu’ud, 2000: 19).
Untuk lebih jelasnya, ayat-ayat Al-Qur`an yang berhubungan dengan realitas saat diturunkannya terbagi menjadi dua (Khalil, TT: 45-47), yaitu:
• ayat yang diturunkan untuk menjawab pertanyaan para sahabat Rasulullah saw.
Dalam hal ini banyak sekali ditemukan ayat-ayat yang dimulai dengan kata “yas`alûnaka” (mereka bertanya kepadamu). Ayat-ayat tersebut di antaranya dapat ditemukan dalam surat al-Anfal:1, surat al-Baqarah: 189, 219, 222, 217, dan lain-lain;
• ayat yang diturunkan sebagai respon terhadap suatu kejadian.
Hal inimerupakan perintah/petunjuk Allah kepada Rasulullah untuk menyikapi kejadian tertentu.Ayat-ayat semacam ini bisa ditemukan misalnya dalam surat al-Maidah: 33, suratan-Nahl: 126, surat an-Nisa`:7, 11, 12, dan lain-lain.
Dalam hal ini banyak sekali ditemukan ayat-ayat yang dimulai dengan kata “yas`alûnaka” (mereka bertanya kepadamu). Ayat-ayat tersebut di antaranya dapat ditemukan dalam surat al-Anfal:1, surat al-Baqarah: 189, 219, 222, 217, dan lain-lain;
• ayat yang diturunkan sebagai respon terhadap suatu kejadian.
Hal inimerupakan perintah/petunjuk Allah kepada Rasulullah untuk menyikapi kejadian tertentu.Ayat-ayat semacam ini bisa ditemukan misalnya dalam surat al-Maidah: 33, suratan-Nahl: 126, surat an-Nisa`:7, 11, 12, dan lain-lain.
Proses turunnya Al-Qur`an (nuzûl) memang sudah berakhir dengan wafatnya Rasulullah, namun Al-Qur`an sebagai pedoman/dasar dalam agama Islam mempunyai sifat shâlihun li kulli zamân wa makân (bisa diterapkan di segala situasi tanpa terikat oleh ruang dan waktu). Dalam hal ini Al-Qur`an mempunyai fungsi tanazzul 5 atau diturunkan sesuai dengan konteksnya, sesuai realitas sosial yang menghendakisolusi darinya.
Tanazzul, merupakan sebuah proses ijtihad untuk menyikapi realitas yang sedang berjalan serta merupakan usaha untuk menerapakan ajaran Al-Qur`an sesuai dengan konteksnya, sesuai dengan realitas sosial yang melatarinya. Bisa dikatakan bahwa asbâb al-nuzûl, yang dalam hal ini menunjukkan adanya konteks, situasi kemasyarakatan, dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat. Semua itu menjadi bukti yang jelas bahwa teks agama atau taklif datang untuk menjawab keadaan yang sedang dihadapi manusia, untuk dijadikan contoh secara umum yang terlepas dari batasan ruang dan waktu dan yang terjadi di setiap waktu dan tempat, karena sebagaimana dikatakan oleh para ahli ushul fikih dalam berinteraksi dengan teks agama bahwa al-‘ibrah bi umûm al-lafdzi lâ bi khusûs as-5 Kata tanazzul merupakan kata yang digunakan oleh al-Qaradhawi ketika mendefinisikan fatwa. Fatwa menurutnya adalah tanazzul al-hukm li al-wâqi (menurunkan/memberikan hukum terhadap realitas)
sabab(yang dijadikan patokan adalah umumnya lafad bukanadanya sebab tertentu) (Bu’ud, 2000: 26). Al-Qur`an merupakan wahyu terakhir dan nabi Muhammad saw juga merupakan nabi terakhir. Konsekwensinya, al-Qur`an harus berisi semua yang dikehendaki Allah untuk diajarkan, baik berupa ajaran untuk diterapkan segera maupun diterapkan untuk situasi yang tepat di masa depan, yang jauh sekalipun (an-Na’im, 2004, 83).
2. Sunnah Rasulullah saw dan Realitas Sosial
Secara substansial Sunnah Rasulullah mempunyai nilai yang tidak jauh dari Al-Qur`an, karena keduanya sama-sama berasal dari wahyu, namun berbeda secara redaksional. Al-Quran secara redaksional berasal dari Allah swt sedangkan Sunnah secara redaksional berasal dari Rasulullah saw. Bahkan dalam pergumulannya dengan realitas sosial sunnah terbukti lebih intensif. Hal itu bisa dilihat dari perbandingan jumlah keduanya. Hadis shahih yang tercatat oleh para perawi Hadis jauh lebih banyak dibanding jumlah ayat dalam Al-Qur`an. Tercatat dalam sejarahbahwa Abu Hurairah meriwayatkan Hadis sebanyak 5374, Ibnu Umar 2631, Anas bin Malik 2286, Aisyah 2210, Ibnu Abbas 1660, Jabir bin Abdullah 1540, dan Abu Sa’id alKhudry 1170 (Khalil, TT: 90).
Sebelum membahas lebih dalam lagi perlu adanya pembatasan Sunnah Rasulullah agar pembahasan tidak terlalu melebar. Mengenai hal ini penulis membatasi sunnah sebagaimana dilakukan oleh Mahmud Syaltout (2001), yang mengategorikan sunnah ke dalam dua macam, yaitu sunnah tasyri’iyyah dan sunnah ghairu tasyri’iyyah. Wilayah bahasan tulisan ini ada pada bagian sunnah tasyri’iyyah saja karena tema bahasanya adalah masalah fikih.
Untuk lebih jelasnya keduanya diklasifikasikan sebagai berikut:
Sunnah tasyri’iyyahmeliputi:
Sunnah tasyri’iyyahmeliputi:
a. Sunnah yang bersumber dari Rasulullah dalam rangka tabligh dan beliau mempoisisikan diri sebagai Rasul, seperti ketika menerangkan kandungan al-Qur`an yang masih global maknanya, men-takhshish makna yang umum, memberikan penjelasan perihal ibadah, halal haram, akidah dan akhlaq, atau segala sesuatu yang erat hubungannya dengan hal tersebut. Sunnah dalam bagian ini merupakan hal yang sifatnya umum atau universal, dan terus berlaku hingga hari kiamat.
b. Sunnah yang bersumber dari Rasulullah di mana Rasulullah berperan sebagai imam dan pimpinan tertinggi bagi kaum muslimin, seperti mengutus tentara perang, membagikan harta dalam baitul mâl untuk kebutuhan tertentu, mengangkat wali dan Qadhi, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kemaslahatan umum. Sunnah dalam bagian ini tidak bersifat umum, semua pekerjaan tersebut tidak boleh dilakukan kecuali dengan izin imam, dan seseorang tidak boleh melakukan hal itu dengan dalih bahwa Rasulullah melakukannya.
c. Sunnah yang bersumber dari Rasulullah ketika beliauberperan sebagai Qadhi dalam menyelesaikan sengketa. Sunnah dalam bagian ini juga bersifat khusus, seseorang hanya boleh melakukannyajika dia menjadi Qadhi
.
Adapun Sunnah ghairu tasyri’iyyahmeliputi :
a. Sunnah yang merupakan pemenuhan kebutuhan sebagai manusia biasa, seperti makan, minum, tidur, berkunjung, tawar-menawar dalam jualbeli dan lain sebagainya.
b. Perbuatan Rasulullah yang sifatnya percobaan dan kebiasaan secara pribadi atau kolektif, seperti ketika menyarankan sesuatu dalam bidang pertanian, kedokteran dan lain-lain.
c. Perbuatan Rasulullah dalam mengambil langkah strategis dalam sebuah kejadian, seperti mengatur strategi perang, menempatkan prajuritnya, mencari tempat berkumpul tentara dan lain-lain. (Syaltout, 2001: 499-500).
Dalam hal yang sama, Abu Zahrah dengan bahasa yang lebih ringkas membagi perbuatan Rasulullah menjadi tiga bagian, yaitu perbuatanperbuatan yang berhubungan dengan penjelasan masalah agama, perbuatan yang khusus bagi Rasulullah seperti beristri lebih dari empat, dan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan sifatnya sebagai manusia biasa (Zahrah, 1997: 103).
Sunnah yang relevan dengan pembahasan tulisan ini adalah sunnah dalam kategori sebagai yang bersifat tasyri’iyyah, karena sunnah ghairu tasyri’iyyah merupakan gambaran perilaku Rasulullah sebagai manusia biasa. Wujud interaksi antara Sunnah dengan realitas sosial di antaranya tergambar dalam beberapa riwayat di bawah ini:
Abu Hurairah r.a., meriwayatkan sebuah Hadis, dia berkata, “ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu berkata, “wahai Rasulullah, celakalah aku”. Rasul menjawab, “apa yang terjadi padamu?”. Laki-laki itu menjawab, “aku telah menggauli istriku (jima’) padahal aku sedang berpuasa”. Rasul bertanya, “apakah engkau mempunyai budak untuk dimerdekakan?”. Laki-laki itu menjawab, “tidak”. Rasulullah bertanya lagi, “apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?”. Laki-laki itu menjawab, “tidak”. Rasulullah bertanya lagi, “apakah kamu mampu memberi makan 60 orang miskin?”. Laki-laki itu menjawab, “tidak”. Abu Hurairah berkata, “lalu Rasulullah diam, dan ketika itu ada seseorang yang datang membawa sekarung kurma”. Lalu Rasulullah bertanya, “di mana si Penanya tadi?”. Laki-laki itu menjawab, “saya wahai Rasulullah”. Lalu Rasulullah bersabda, “ambillah ini (kurma) dan bersedekahlah dengannya”. Laki-laki itu menjawab, “bagaimana aku
bersedekah kepada yang lebih miskin dari aku, wahai Rasulullah?,
- sesungguhnya di tempat kami tidak ada keluarga yang lebih miskin daripada keluarga kami”. Lalu Rasulullah tertawa sehingga terlihat gigi-gigi taringnya, lalu beliau bersabda, “berikanlah kepada keluargamu”. (HR. Bukhari, Bab Puasa).
- Dalam Hadis Rasulullah ditemukan bahwa Beliau menjawab pertanyaan yang sama dengan
jawaban yang berbeda-beda. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abi Umamah al-Bahily r.a. mengenai seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah mengenai jihad yang terbaik. Pada saat itu Rasulullah mengatakan bahwa jihad yang terbaik adalah “mengatakan kebenaran kepada pemimpin yang lalim”. Dalam kesempatan yang lain sebagaimana terekam dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. ketika dirinya bertanya kepada Rasulullah mengenai permasalahan di atas, jawaban Rasulullah adalah “jihad terbaik adalah haji yang mabrur”. (HR. Bukhari).
- Secara lebih jelas Rasulullah pernah bersabda, “berbicaralah kepada manusia sesuai dengan tingkat pemahamannya”. (HR. Bukhari). Ketiga contoh hadis di atas memberikan sebuah pelajaran mengenai bagaimana kondisi (realitas sosial) menyebabkan adanya perbedaan dalam menyikapinya. Seseorang tidak mungkin dipaksa untuk melakukan amalan yang berada di luar batas kemampuannya.
3. Ijtihad Rasulullah
Sebuah permasalahan yang pernah diperdebatkan sehubungan dengan proses tasyri’ di masa Rasulullah adalah mengenai ijtihad. Hal ini penting untuk dikaji untuk memberikan gambaran bagaimana sesungguhnya posisi seorang Rasul dalam menghadapi realitas sosial yang sedang dihadapi. Pertanyaan yang dikemukakan adalah, apakah Rasulullah saw boleh berijtihad atau tidak? dalam hal ini ada dua pendapat yang didukung oleh dalilnya masing-masing. Pendapat pertama mengatakan bahwa Rasulullah tidak boleh melakukan ijtihad, beliau hanya menunggu dan menjalankan perintah dari Allah. Hal ini didukung dengan pemahaman umum dari Ayat al-Qur`an yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak berkata kecuali dengan wahyu, yang terdapat dalam surat an-Najm: 3-4. Dalam ilmu kalam, pendapat ini dianut oleh aliran As’ariyah dan sebagian besar kaum Mu’tazilah (Khalil, tt: 28).
Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa Rasulullah saw melakukan ijtihad, bahkan beliau pernah salah dalamijtihadnya. Pendapat ini didukung oleh dalil-dalil sebagai berikut:
a. Rasulullah pernah melakukan Qiyâs. Hal ini termuat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Pada suatu hari, seorang perempuan Khasy’amiyyah datang kepada beliau menanyakan persoalan ayahnya yang meninggal dunia dalam keadaan belum menunaikan ibadah haji karena sakit. Perempuan itu bertanya: “apakah aku bisa menghajikannya, wahai Rasulullah?”. Nabi menjawab: “bagaimana menurutmu, jika ayahmu punya hutang, apakah kamu wajib melunasinya?”. Ketika perempuan tersebut menjawab bahwa hal itu harus dibayar, maka nabi mengatakan: “hutang kepada Allah lebih utama untuk ditunaikan” (al-Maraghi, 2001: 9).
b. Pada saat memutuskan hukum terhadap para tawanan perang Badar dan belum ada syari’ah mengenai hukum terhadap tawanan perang, Rasulullah bermusyawarah dengan sebagian Sahabat. Abu Bakar menyarankan agar dipungut tebusan dari mereka untuk memperkuat para sahabat. Tapi Umar bin Khattab berpendapat agar para tawanan dibunuh saja, tidak usah memakai syarat tebusan. Kemudian, Rasul berijtihad untuk menerima tebusan, maka Allah meluruskan ijtihad Rasul (yang kurang tepat) dengan firman-Nya dalam surat al-Anfal: 67 (Khallaf, 2005: 17).
c. Pada saat Rasul memberikan izin bagi para Sahabat untuk tidak berperang dalam perang Tabuk, Allah menegur dengan menjelaskan yang sesuai kebenaran dengan firman-Nya pada Surat at-Taubah: 43 (Khallaf, 2005: 18). Pendapat kedua, yang mengatakan bahwa Rasulullah saw melakukan ijtihad lebih bisa diterima, karena telah jelas dari contoh-contoh yang dikemukakan tentang adanya ijtihad tersebut. Dalam kaidah ushul juga dikatakan bahwa “al-wuqû’ dalil al-jawâz” (segala sesuatu yang sudah terjadi menunjukkan bukti keberadaannya). Selain itu, dengan berpegang pada pendapat kedua, akan memberikan ruang bagi para mujtahid kontemporer untuk meneladani Rasulullah dan tidak takut terjebak pada kesalahan berijtihad, sebab manusia sekaliber Rasulullah pun pernah salah dalam berijtihad. Dari seluruh uraian di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa proses tasyri’ di masa Rasulullah dalam kaitanyya dengan penyikapan terhadap realitas sosial terangkum dalam dua hal, yaitu:
Pertama, menerapkan syari’ah secara bertahap (ad-tadarruj fi attasyri’). Pengertian bertahap dalam hal ini bisa diartikandua macam, yaitu pengertian global dan pengertian spesifik. Global bisa dilihat pada proses tasyri’ yang meliputi kronologi penurunan ajaran secara bertahap sesuai dengan keadaannya, seperti turunnya ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah yang memperhatikan kesiapan mental umat Islam saat itu. Sedangkan pengertian spesifik bisa dilihat pada proses bertahapnya ajaran Islam dalam satu macam kasus, seperti pengharaman khamr (arak) yang berproses melalui empat tahap sebagaimana terekam dalam Al-Qur’an surat an-Nahl: 167, al-Baqarah: 219, an-Nisa`: 43, dan al-Maidah: 90-91. Begitu juga terlihat dalam kasus shalat yang pada awalnya diwajibkan sebanyak 2 (dua) rakaat lalu ditambah menjadi 4 (empat) rakaat (Khalil, TT,40-42). Pemahaman seperti ini didukung juga oleh Umar Abid Hasanah dalam kata pengantarnya untuk buku yang berjudul “Fiqh al-Wâqi’”.
Hasanah mengatakan bahwa Pada dasarnya taklif syar’i, secara umum dan tingkatan-tingkatan atau tahapan-tahapannya, disandarkan pada tingkat kemampuan dan kemungkinan secara manusiawi. Karena memberikan taklif kepada seseorang di luar tingkat kemampuannya tidak dimungkinkan secara teroritis maupun praktis. Taklif tidak mungkin melebihi kemampuan secara manusiawi dengan bermacam-macam kondisinya, mulai dari tingkatan hukum syara’ yang paling rendah yaitu perbuatan tidak wajib sampai tingkatan tertinggi hukum syara’ yaitu wajib/fardhu. Hukum syari’ah sesuai dengan tingkat kemampuan manusia, karena tujuannya adalah untuk mendidik manusia, bukan untuk menyiksanya. Allah swt yang telah menciptakan manusia, situasi dan kondisi yang melingkupi manusia, serta menciptakan waktu, tentunya lebih tahu mengenai tingkat kemampuan manusia serta kebutuhan-kebutuhannya yang mendasar. Oleh karea itu, Allah Swt tidak membebani manusia di luar batas kemampuannya, Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah manusia (Bu’ud, 2000: 19).
Hasanah mengatakan bahwa Pada dasarnya taklif syar’i, secara umum dan tingkatan-tingkatan atau tahapan-tahapannya, disandarkan pada tingkat kemampuan dan kemungkinan secara manusiawi. Karena memberikan taklif kepada seseorang di luar tingkat kemampuannya tidak dimungkinkan secara teroritis maupun praktis. Taklif tidak mungkin melebihi kemampuan secara manusiawi dengan bermacam-macam kondisinya, mulai dari tingkatan hukum syara’ yang paling rendah yaitu perbuatan tidak wajib sampai tingkatan tertinggi hukum syara’ yaitu wajib/fardhu. Hukum syari’ah sesuai dengan tingkat kemampuan manusia, karena tujuannya adalah untuk mendidik manusia, bukan untuk menyiksanya. Allah swt yang telah menciptakan manusia, situasi dan kondisi yang melingkupi manusia, serta menciptakan waktu, tentunya lebih tahu mengenai tingkat kemampuan manusia serta kebutuhan-kebutuhannya yang mendasar. Oleh karea itu, Allah Swt tidak membebani manusia di luar batas kemampuannya, Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah manusia (Bu’ud, 2000: 19).
Kedua, adanya sebab-sebab yang menghendaki adanya hukum, baik dari al-Qur`an (asbâb an-nuzûl) maupun sunnah (asbâb al-wurûd). Dengan demikian pengetahuan mengenai background yang melatari turunnnya alQur`an maupun yang menyebabkan Rasulullah mengeluarkan sabdanya menjadi penting dalam rangka mencermati hubungan antara realitas sosial dengan proses tasyri’. Memang, tidak semua ayat dalam al-Qur`an ada asbâb an-nuzûl-nya, namun dalam literatur ke-Islam-an banyak sekali buku-buku yang membahas mengenai asbâb an-nuzûl terutama kitab-kitab tafsir.
Jelas sekali terlihat bahwa pada masa Rasulullah terlihat hubungan yang tak terpisahkan antara realitas sosial dan proses formulasi hukum, bahkan dalam kasus seseorang yang “menggauli” istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan, Rasul menerapkan hukum berdasarkan kemampuan orang tersebut, tanpa adanya pemberatan dan pemaksaan
ConversionConversion EmoticonEmoticon